Tukang Nulis Tidak Suka Baca

Jujur aja, aku nggak suka baca



Disclaimer : "baca" disini artinya membaca buku, ya.

Btw, selamat hari kemerdekaan Indonesia yang ke 73!! Tulisan ini sekaligus untuk merayakan dan mendoakan Indonesia agar merdeka dari rendahnya tingkat literasi masyarakat.

----

Sebagai penulis, aku malu banget mengakui itu. Mungkin semua rekan penulis lain bakal ngelemparin aku pakai botol kosong dan menyoraki kelemahan (kemalasan)ku itu. Iya, aku nggak suka baca. Dan rasanya itu aib sekali. Seperti yang kita ketahui, tingkat literasi mencakup membaca dan menulis. Cuma nulis doang? Mungkin aku adalah salah satu penyumbang angka rendah pada tingkat literasi Indonesia.
sumber

Sekarang, ketika kalian membaca ini, coba tanyakan ke dalam diri : " Aku suka baca nggak sih? ". Apa buku terakhir yang dibaca? Apakah kalian adalah temanku? Si tidak suka baca? Ayo berkenalan dan coba baca blog-ku ini.

Tentu saja ketika kita tidak suka membaca, banyak sekali kerugian yang kita dapatkan. Misal, kerugianku sendiri, kalau orang-orang tidak suka baca, siapa yang mau baca tulisanku?? Itu jelas-jelas merugikanku banget. Juga dengan kerugian lain sih, misalnya wawasan jadi sempit, referensi penulisan berkurang, dan lain-lain.

Sebenarnya, apa sih yang bikin kita nggak suka baca?

Sekarang aku mau mencoba merunut kehidupanku dari masa lampau (re: curhat). DULU, aku suka baca. Aku suka banget baca novel, apalagi yang teenlit-teenlit itu lho. Dulu aku suka banget karya Andrea Hirata, aku bacain semua sebelum ternyata itu jadi nge-hits. Pokoknya aku seneng banget spend time dengan baca dan nulis. Kalau udah baca sesuatu, aku langsung terinspirasi dan langsung nulis deh di blog.

Tapi, sayangnya, biasanya setelah aku membaca suatu buku, gaya menulisku bakal secara nggak sadar mengikuti buku terakhir yang aku baca. Apalagi kalau udah baca buku terjemahan, tulisanku jadi kaku-kaku nggak jelas gimana gitu. Ketika aku sadar itu, aku mulai ngerasa khawatir. Waduh, gaya nulisku yang dulu mana ya? Sejak saat itu, aku jadi mengurangi intensitas baca buku. Kesibukanku ketika masa sekolah pun bertambah. Buku-buku novel itu berubah menjadi buku KODING GO dan kumpulan soal ujian nasional. Tahun ketiga SMA menjadi masa intensitas membacaku turun drastis, hingga mencapai taraf "tidak-membaca-sama-sekali".

Waktu berlalu dan akhirnya aku kuliah. Aku membawa beberapa novelku ke tempat ku merantau, dengan pikiran bahwa siapa tahu aku akan membacanya lagi. Tentu aja udah ketebak gimana jadinya. Aku nggak ngebaca itu semua sama sekali. Kehidupan sosial media menyeruak. Semakin, semakin, dan semakin enggak baca buku. Ketika aku nyoba baca buku, yang ada pasti aku ngantuk. Bukunya aku lempar entah kemana. Berdebu. Berusaha minjem buku dan beli buku, hasilnya nihil. Tidak ada yang menarik perhatianku.

Awalnya aku merasa ngga masalah dengan ke-tidak-membaca-anku ini. Aku lupa apa momennya sampai aku merasa, " Parah nih kok aku nggak ngebaca apapun ya.". Mulai kerasa tumpul banget. Aku memutar akal mencari gimana caranya bisa tetep membaca walaupun aku nggak suka membaca. Akhirnya, aku memutuskan untuk langganan majalah. Bukan langganan secara langsung, tapi aku beli majalah tersebut setiap bulan tanpa putus. Aku rutin membeli majalah dewasa (???) yaitu Intisari. Iya, Intisari itu target pembacanya adalah 25-40an (kalo nggak salah editornya pernah bilang gitu), itu usia dewasa kan?? Nah, aku beli majalah itu tiap bulan.

Kenapa majalah? Pertama, karena isinya adalah artikel-artikel. Aku tahu kalau membaca dapat mempengaruhi penulisanku. Yang aku tulis = blog = isinya artikel (+curhatan). Jadi, aku merasa membaca majalah adalah pengaruh yang baik bagiku. Kedua, karena majalah Intisari membahas banyak hal yang bermanfaat. Majalah tersebut nulis tentang kesehatan, keuangan, tren,dan lain-lain. Aku merasa 'cukup' ketika sudah membaca Intisari. " Okay, wawasanku nambah dikit. It's the goal, right? ". Kurang lebih begitu.

karena koleksiku udah masuk kardus semua (pindahan), aku liatin hasil search google aja yak

Tapi, ternyata susah juga lho, memaksakan diri yang tidak suka baca untuk ngehabisin satu majalah dalam satu bulan. Rasanya tuh kayak gak pernah ada waktu, nggak mau berlama-lama diem 'membaca' doang, dan tentu saja : NGANTUK. Walaupun hal tersebut mampu aku lakukan rutin, tapi ternyata aku ngga sebahagia itu ngelakuinnya. Hadeh, adakah solusi lain?

Sampai akhirnya aku menemukan buku ini. Bukan buku terkenal, tapi buku yang bener-bener berhasil bikin aku tenggelam ngebaca itu, kembali ke rasanya ketika aku tenggelam dalam cerita sebuah novel. Bukan novel terkenal, tapi kisah di dalamnya, gila.

Ini update-an dari instastories ku. Captionnya : Blender Perasaan. Iya, perasaanku diaduk-aduk ngebacanya.


Wow, ternyata, aku bisa menikmati membaca sesuatu. Kirain udah nggak bisa lagi. 

Dan kalian tahu, kenapa tiba-tiba aku menulis ini? Karena aku akhirnya ketemu buku yang bisa bikin aku larut buat baca halaman selanjutnya.



Sampai akhirnya aku mikir, " Jangan-jangan aku emang sukanya baca yang tentang budaya gitu ya? ". Buku sebelumnya menceritakan banyak hal tentang budaya di Suku Dani, dan buku berikutnya tentang budaya Tiongkok. Ah, akhirnya aku bisa ngerasain lagi rasanya penasaran dari tulisan di sebuah buku.

Intinya adalah apa? Intinya, ternyata aku nggak ngebaca buku bukan karena aku nggak suka, tapi aku nggak nemu aja buku yang aku suka. Sama kayak film/musik. Aku tuh sangat nggak bisa jadi acuan tentang film bagus, karena definisi film bagus bagiku tuh sering banget meleset. Aku sering banget ketiduran di film yang terkenal, sebaliknya aku sering ngasi feedback film bagus tapi kata orang-orang biasa aja. Ternyata juga berlaku di buku. We just need to find the right one. Eak, gitu.

Moral of the story : yuk, jangan biarkan diri kita nggak baca buku :" Please, kalau sadar nggak suka baca, do something about it. Karena itu perlu. Manfaatnya mah ngga usah aku sebutin lagi. Kalau kalian nggak suka baca, yang baca blog-ku siapa?? :" (baca postinganku tentang pembaca yang nggak suka baca di sini)

Sekian dan terimakasih (sudah baca sampai sini)!

Comments

Popular posts from this blog

music is in you, isn't it?

Interpretasi puisi : Aku Ingin, karya Sapardi Djoko Damono

Ibu yang Tidak Ideal