Kenapa Kamu Tidak Perlu Memberi Saran
Berapa banyak orang yang--pada akhirnya--belajar lagi setelah diteriaki "Belajar lagi sana!" ?
It's probably none. Most likely yang terjadi adalah dia akan belajar lagi dengan googling sedikit sekenanya untuk membalas argumen orang yang meneriakinya.
Menulis hari ini membuat aku ngerasa kembali jadi jurnalis di Pijar Psikologi. Duduk, ngebacain Psychology Today, dan ngobrol tentang apa yang baru aku pahami sekitar..10 menit lalu. Semoga itu nggak apa-apa.
Kembali ke topik utama. Sebenarnya, kenapa sih aku ngebahas ini? Semua berawal dari aku yang wondering sendiri tentang pertanyaan yang aku tulis untuk memulai tulisan ini. Pertanyaan tersebut timbul ketika aku membaca tulisan-tulisan netijen, comment-comment yang ngegas dan yang ngerem, dll di timeline LINE. Aku sempat vakum membaca timeline LINE selama beberapa minggu karena kebiasaanku membaca hal-hal toxic tersebut cukup mengganggu. Mungkin saja yang kutulis kali ini ngga akurat, karena aku refer pada keadaan/keributan terakhir ketika aku masih ngebacain timeline LINE. Semoga saja masih relevan.
sumber , dengan sedikit sensor karena bulan ramadhan
Selain dari timeline LINE, aku juga wondering pertanyaan tersebut ke diriku sendiri. Mungkin lebih seperti ini : " orang ini ngasi saran ke aku, kok ngga masuk yah? " atau " aku ngasih saran ke orang ini kok keliatannya kayak mental (re : terpental, kbbi) doang yah, engga didengerin? ". Sejak sadar akan hal tersebut, aku mulai mengurangi 'memberi saran' ke orang lain. Ada seorang teman yang terus-terusan bertanya pendapat dan saranku, aku memintanya untuk berhenti. Ada seorang teman yang menceritakan keputusan besar dan nekad dalam hidupnya, aku cuma bilang " oh, gapapa. yang penting kamu semangat ya. ". Dan dia berakhir dengan bertanya, " ah, kamu pasti mau ceramahin aku kan? udah, bilang aja. bilang. "
Lingkunganku mengernyitkan dahi.
Memang sebenarnya niat kita untuk memberi saran adalah niat yang baik, yaitu ingin membantu orang yang bersangkutan untuk memperbaiki masalah dalam hidupnya. Salahnya dimana? Well, aku bakal ngasi tau kenapa kamu ngga perlu memberi saran kalau kamu ingin membantu orang yang kamu sayangi.
Reactance theory
Faktanya, secara psikologis ada yang disebut sebagai reactance theory dimana apabila ada seseorang yang memberitahu kita bagaimana melakukan sesuatu, kita secara tak sadar memberi respons pembelaan/defensif karena kita ingin memaksimalkan kebebasan pribadi dan pengambilan keputusan untuk diri kita sendiri [1]. Respons tersebut hadir walaupun yang orang tersebut katakan sangat masuk akal. Kenapa begitu? Karena ketika saran diberikan, kesan yang muncul adalah orang yang diberikan saran tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalahnya, last but not least--you're not good enough [2]. Tentu saja kita merasa perlu membela diri ketika mendapat kesan seperti itu, bukan?
Sumber lain mengatakan bahwa pemberian saran memberikan kesan judgemental, instruktif, menjebak, dan narsisisme [3]. Sekarang, jika kalian mengingat kembali perasaan ketika diberi saran tanpa kalian memintanya, lebih banyak perasaan terbantu atau apa yang aku sebutkan diatas?
Sama seperti berdebat di sosial media, apa sih yang membuat orang yang pada akhirnya tersulut emosi menghentakkan jempol mereka ke layar smartphone? Tentu saja karena kesan-kesan tersebut yang akhirnya bikin mereka merasa harus membela diri. Walaupun terpaksa harus terlihat se-ilmiah dan se-bijak mungkin, it's still your act to defense, tho. So sorry but it's science, guys :(
Bukan saran, lalu apa?
Nah, sebenarnya banyak pendekatan yang bisa lakukan untuk nunjukin bahwa kita peduli dengan orang lain. Pendekatan-pendekatan tersebut bisa kalian googling aja, just like I did wkwkwkwk. Tapi yang paling aku suka adalah pendekatan ini : listen deeply [2].
Ya, yang perlu kamu lakukan ketika ada seseorang yang bermasalah adalah mendengarkan dia secara mendalam. Benar-benar menjadi orang dalam sepatunya, bukan menjadi dirimu dalam sepatunya. Diam dan dengarkan dia menjelaskan apa yang sebenarnya ia rasakan. Bisa juga dengan memberikan rasa ingin tahu dengan pertanyaan-pertanyaan open ended/dapat dijawab secara luas. " Menurutmu kenapa kamu harus seperti itu? ", " Apasih yang kamu rasakan? ", " Trus kamu nge-handlenya bagaimana? ", dll. Dengan begini, biasanya orang tersebut bisa menemukan sendiri apa solusi dari masalahnya. Apabila orang tersebut meminta saranmu, kamu dapat memberi saran dengan lebih condong kepada kondisinya, benar-benar berupa saran yang muncul karena rasa kepedulianmu. Kepedulian tersebut akan tersalurkan, mengalahkan kesan-kesan buruk dari 'pemberian saran' yang telah disebutkan sebelumnya. Disanalah kebijaksanaanmu akan terlihat.
Fakta tersebut mengingatkanku pada seorang teman yang seringkali aku curhatin hal-hal yang terjadi di hidupku. Awalnya aku bingung, ' kok enak banget ya cerita sama dia? padahal dia diem doang ngga ngasi saran apa-apa. '. Sekarang aku paham. Entah ia sadar atau engga, she's doing an absolutely right thing. Curhat sama dia bikin aku ngerasa lega, ngerasain yang namanya inner peace, dan terhibur kembali dengan bagaimana dia menimpaliku dengan kata-katanya yang receh dan naif.
Bagaimana kalau aku yang diberikan saran?
Setelah kamu baca tulisanku ini, harapannya kamu sudah sadar dengan fenomena psikologis yang kamu rasakan ketika kamu tidak nyaman diberikan saran. Tidak hanya bijaksana dalam memberi saran, kamu juga harus bijaksana dalam menerima saran. Menurutku, solusinya sama. Diam dan dengarkan. Dengarkan baik-baik saran tersebut, meskipun kamu merasa tidak nyaman. Ucapkan terimakasih. Tahan nafsu untuk membela diri dan mendebat..
....
Yang kamu bilang susah banget untuk dilakuin, Fan!
Iyaaa aku tauuu!!!11!1! Dan tentu saja yang aku bilang tadi nggak mentah-mentah berlaku di semua situasi ya. Beberapa waktu kalian harus memberi saran, membela diri, dan lain-lain. Iya, terkadang memberi saran itu memang perlu, lho. Biasanya orang-orang tidak merasakan kesan buruk dari 'pemberian saran' ketika orang yang memberinya saran itu memang orang yang ia percayai, kagumi dan hormati. And it's okay to ask for advice! Karena ketika kita secara sadar meminta saran, secara psikologis kita juga sudah siap untuk 'diisi'. Pada situasi seperti itulah, memberi saran akan sangat aman. Berikanlah saran kepada orang yang memang memintanya dan membutuhkannya.
Oleh karena, itu yang pengen aku tekankan banget disini adalah bagaimana kita harus bijaksana menyikapi sesuatu. Kebijaksanaan adalah sebuah keniscayaan, gaes. Kita harus belajar, belajar dan belajar untuk memahami gimana sih caranya biar bijaksana. Sama seperti ketika kalian sadar bahwa tulisan ini juga sedang memberikan saran kepada kalian, gimana sih cara bijaksana untuk menyikapi tulisan ini? :p
See you on my next post!
P.S. : kalau kamu cukup tertarik dengan topik ini, monggo baca referensi-referensi yang udah aku cantumkan di bawah. Worth to read banget deh artikel-artikelnya. Happy reading!
Nice Post!
ReplyDeleteMasih relevan kok.. dan sepertinya masih akan relevan untuk beberapa waktu ke depan :(
Sekedar tambahan referensi terkhusus buat yang muslim
-Meninggalkan debat
https://almanhaj.or.id/3360-bicara-tanpa-pahala.html
-Memberi nasehat jika diminta
https://muslim.or.id/8945-nasehat-untuk-sesama-kaum-muslimin.html
-Menerima nasehat
https://nasehat.net/88-ucapan-yang-paling-dibenci-allah.html
-Menjadi pendengar yang baik
http://ppencarimu.blogspot.co.id/2011/10/10-tips-menjadi-pendengar-yang-baik.html?m=1
wah, terimakasih referensi2 nya! ^^
Delete