Hati-hati Termakan Paradigma Orang Banyak

Ah, gatel ngga nulis tentang ini

Saya tukang galau.

Mungkin itu yang orang-orang inginkan dari aku, sebuah pengakuan. Agar orang-orang bisa tertawa, kemudian merasa hidupnya lebih bahagia dan berkata “udahlah..ngapain galau. Hidup belum berakhir kok..” sambil mengelus pundakku.

Hati-hati termakan paradigma orang banyak.

Beberapa orang sebenernya udah pernah ngebahas ini. Peduli dibilang kepo, puitis dibilang galau, dan sebagainya. Ya, aku sendiri setuju sih dengan hal itu. Hal ini didukung dengan aku yang seneng banget nulis, dan kebetulan, aku menemukan menulis tentang misery, sorrow and sadness itu mengasyikkan. Aku udah #75940837 kali dibilang “tukang galau”/”sedih mulu hidupnya”/”inget Allah mbak”, hanya karena nge posting puisi-puisi yang aku tulis, atau hanya sekedar bikin status dan posting blog yang ‘agak’ memiliki rona kesedihan didalamnya. Kadang aku udah terbiasa aja dengan julukan itu..dan kadang aku juga lelah.

Hati-hati termakan paradigma orang banyak.



Tulisan ini mungkin terdengar seperti pembelaan, tapi nggak apa-apa. Wajar, karena nggak gampang untuk mengerti pola pikir setiap orang. Sebenarnya, hal yang paling aku senangi saat menulis adalah, proses kreatif tentang bagaimana aku mendeskripsikan suatu kondisi menggunakan padanan kata yang menurutku indah. Aku menikmati itu. Aku pernah menulis :
 Kami para penulis sangat menikmati menggunakan kata-kata untuk mengemas suatu keadaan, entah itu kesenangan, kesedihan, dan lain-lain. Perkara kami benar-benar merasakannya atau tidak, cukuplah kami saja yang tahu.
 
Ya, cukuplah kami saja yang tahu. Intinya, apabila kami menulis tentang kesedihan, bukan berarti kami sedang bersedih. Aku bisa saja menyusun kata tentang kesedihan sambil naik roller coaster. Kadang ngeliat kondisi orang lain yang ngutang di burjo, kondisi bumi yang sedang global warming, hal itu udah cukup bikin puisi seakan-akan kayak abis ditinggal mati pacar. Kalian harus tahu rasanya, sangat. Sangat. Sangat. Mengasyikkan :)

Memang benar, aku pribadi adalah orang yang gampang merasa sedih. Namun, disanalah bagian serunya. Aku menghibur diri sendiri dengan cara menulis puisi untukku sendiri. Saat aku menemukan kasus mengenai kesedihan—which means yang terjadi padaku saat itu—otakku langsung menyusun kata-kata. kata-kata itu melayang-layang memadu padankan diri menjadi sebuah kalimat. Kalimat menuju satu bait, demi bait, demi bait. Jadilah sebuah puisi. Hal ini terbukti dengan aku yang sudah menulis hampir 900 puisi di berapa tahun terakhir. I’m not bragging right now, i swear. Aku tahu banyak orang yang lebih jago nulis daripada aku. Tapi...kalian harus tahu sistematis si-tukang-galau ini bekerja. We create things. Just by feeling something. Just by seeing people having feelings. Menarik, kan?

buku yang kugunakan untuk menulis puisi, seri ke tiga belas.




Jadi, hati-hati. Hati-hati termakan paradigma orang banyak. Karena, kasihan penulis-penulis diluar sana. Aku nggak bicarain tentang aku, tapi tentang teman-teman penulis lain yang bisa dibilang sudah mulai kurang diapresiasi karya-karya dan di pukul rata sebagai ‘tukang-galau’. Jangan sampai kalian menyumbat kreatifitas orang-orang. Karena, jujur, hal itu terjadi padaku. Sering aku ngerasa “wow, i just wrote a freakin nice poetry. I want to publish it.” Tapi akhirnya gagal karena aku takut teman-teman yang membaca tidak mendapat esensi apa-apa di tulisanku selain mendeklarasikan sebuah cap ‘wah-ternyata-faroh-tukang-galau’.


sering kan membaca-baca seperti ini? sumber : Akun Line KumpulanPuisi


Itulah yang paling ditakutkan seorang penulis, saat pembacanya tidak memahami apa yang ia maksud.

Begitu saja. Sebenarnya masih banyak yang mau aku bilang...tapi...yah time keeper disudut sana sudah menunjukkan tanda time out. Saatnya belajar untuk uts.

Bye bye!

Kuis :
Banda neira tukang galau.
Payung teduh tukang galau.
Mozart tukang galau.
Leonardo da vinci tukang galau.
Raisa tukang galau.

Have you ever think that sentences above this are true?


Comments

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Sejak beberapa bulan belakangan, aku rajin bikin puisi. Biasanya aku tulis di notes hape, trus dipindahin ke binder. Dan aku coba nulis untuk mendeskripsikan perasaanku pada banyak situasi. Pas lagi pengen ngamuk, pas lagi seneng-seneng, pas lagi ngaco, bahkan pernah salah satu matkul aku jadiin puisi karena tingkat kesulitannya yang ah sudahlah :")

    Tapi entah kenapa, tema sentral puisiku adalah kesedihan. Dan entah kenapa lebih nyaman dan "mudah" saja rasanya menuliskan puisi tentang kesedihan, meskipun saat nulis pun aku sedang tidak merasakannya.

    And yep, aku menyetujui kakak di bagian:

    Kami para penulis sangat menikmati menggunakan kata-kata untuk mengemas suatu keadaan, entah itu kesenangan, kesedihan, dan lain-lain. Perkara kami benar-benar merasakannya atau tidak, cukuplah kami saja yang tahu.

    Biar deh orang lain tidak mengerti, mereka hanya tidak tahu :")

    ReplyDelete
    Replies
    1. so glad to read this...jangan pernah berhenti nulis yaaa!

      Delete
  3. jangan pernah berhenti nulis kak. aku suka sama tulisan kakak. dan aku salah satu penjelajah blog kakak. semangat terus. jangan pedulikan apa kata orang. you can.

    ReplyDelete

Post a Comment

jangan lupa kasi komen yaa kakaaaa :3

Popular posts from this blog

music is in you, isn't it?

Interpretasi puisi : Aku Ingin, karya Sapardi Djoko Damono

Ibu yang Tidak Ideal