Surat yang Berujung Biasa Saja

Surat yang berujung biasa saja

Bzzt, bzzzt.
Telepon genggamku bergetar. Ada sebuah pengingat yang menjadi penyebab getaran tersebut. Pengingat itu bertuliskan “Cek email”. Aku tahu pengingat ini sudah mengingatkanku di waktu yang semestinya. Tanggal 16 setiap bulannya.  Dengan gerakan lemah tanpa semangat, aku mengusap-usap layar smartphone ini hingga menuju kotak email ku. Benar saja, memang ada sebuah pesan baru. Anehnya, pesan rutin yang selalu kudapat tanggal 16 ini selalu tersasar di kotak spam. Itu sebabnya aku menggunakan pengingat untuk mengingatkanku akan pesan tersebut. Aku membaca email yang tak lain dan tidak bukan adalah dari kekasihku.

Teruntuk Melati,
di tempat.


Terimakasih sudah mencintaiku seperti dulu. Aku amat sangat menghargainya. Kamu memang satu-satunya apa yang aku punya sekarang. aku masih mati menunggu waktu kapan aku bisa keluar dari neraka ini. Masih tersisa 2 tahun lagi. Aku harap kita bisa bersemangat menunggu waktu itu. Aku mohon, jangan biarkan aku menunggu sendirian..

Untuk kali ini aku sedang terpikir tentang microphone yang dipakai imam Hasbi saat tadi mengimami kami semua sholat Subuh. Seperti biasa aku menjalani ibadah dengan khusyuk, seperti yang kamu selalu sarankan dulu. Namun hari ini sepertinya aku tidak sepenuhnya fokus menghadap Allah. Konsentrasiku pecah di rakaat kedua saat mendekati iktidal. Saat rukuk, tiba-tiba handphone imam Hasbi berbunyi. Aku kaget, biasanya imam Hasbi tidak pernah menyalakan handphone di musholla (atau handphone nya menyala namun tak ada yang menghubunginya). Namun kali ini, ada nada dering yang bersumber dari sakunya. Tapi, sayang, bukan itu yang berani-beraninya memecah konsentrasiku saat menghadap kepadaNya. Tetapi microphone yang ditegakkan didekat kepala imam Hasbi pun mengeluarkan suara aneh. Entahlah, seperti suara ketukan-ketukan kasar yang beruntun. Klutuk-klutuk-klutuk, begitu. Saat berdiri dari rukuk, suara itu semakin keras. Itu yang menyebabkanku berpikir kalau handphone itu pasti berada didalam saku kemejanya. Saat sujud, suara itu mengecil, walaupun sayup-sayup masih terdengar. Mungkin aku bisa menyalahkan microphone disini memang sangat buruk kualitasnya, yang kadang kami sudah bersyukur kalau benda ini masih hidup. Setelah mendengarkan suara itu, sampai sholat berakhir aku masih berpikir bagaimana itu bisa terjadi? Handphone itu daritadi sudah ada di saku imam Hasbi, tapi mengapa hanya saat ada telepon yang masuk, handphone itu bisa mengganggu microphone? Aku sangat penasaran. Aku berandai-andai apakah nada dering handphone imam Hasbi terlalu aneh sehingga membuat si microphone marah, ataukah karena selama ini microphone itu tidak sadar kalau ada handphone didalam saku imam Hasbi sehingga ia kaget dan mengeluarkan suara seperti itu. Tentu saja bukan itu alasannya. Apakah kamu tahu apa alasannya, sayang? Beritahu aku ya. Aku rasa kamu mempelajari hal ini di semester-semester lalu. Pasti hal ini sangat sepele bagi kamu. tolong jangan tertawakan kebodohanku. Nanti saat aku sudah keluar dari sini, kita belajar bersama ya?

Aku merindukanmu. Ditunggu balasan emailnya. Aku sangat, sangat, sangat menyayangimu.

Dari Aji, dikirimkan oleh pak Bondan.
12 Desember 2014
Aku membaca email itu sambil tertawa kecil beberapa kali. Sungguh polos kekasihku itu. Sifat kekanak-kanakannya tidak pernah hilang. Namun aku sangat gundah disetiap kata sayangnya padaku. Sungguh berat aku membacanya. Banyak hal yang ia tidak ketahui diluar sini. Dia terlalu naif akan kenyataan, khususnya tentang cinta. Entah mungkin karena ia sudah ditinggal oleh ayah dan ibunya semenjak ia melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya. Bukan karena kematian, tetapi karena ayah dan ibunya sudah tidak sudi mengurus seorang narapidana yang padahal anak mereka sendiri. betapa anehnya beliau-beliau masih sangat baik terhadapku. Beberapa kali aku sempat datang ke kediaman mereka, aku masih disambut baik. Dan mereka tidak menanyakan apa-apa tentang anak mereka kepadaku, padahal aku satu-satunya jembatan bagi mereka untuk mengetahui bagaimana kabar Aji disana.

Aji telah divonis 4 tahun 4 bulan penjara akibat menjadi pengedar shabu-shabu semasa SMA. Kami sudah berpacaran waktu itu. Masa-masa berat bagi aku dan dia kala itu. Aku harus memikirkannya sekaligus memikirkan Ujian Nasional yang tinggal menghitung hari. Sementara dia? Sudah pasti tidak mengikuti Ujian Nasional. Sidang demi sidang ia lalui, aku berusaha untuk tidak pernah absen menemaninya walaupun orang tuanya sudah mundur di sidang pertama akibat malu yang berlebihan. Sejak saat itu, Aji lepas kontak dengan orang tuanya. Itu sebabnya ia berkata bahwa hanya aku yang ia miliki. Siang hari aku menemaninya, aku minta izin sebentar padanya untuk bimbel sekitar 2 jam pada pukul 16.00. lalu aku menemaninya lagi hingga tidak diperbolehkan oleh pihak polisi, yaitu pukul 21.00. sampai dari rumah aku melanjutkan belajarku. Sungguh waktu-waktu yang berat bagiku, namun aku menyayanginya amat sangat sehingga tak terbersit pun sedikit niat untuk meninggalkannya. Entah definisi cinta yang mana yang aku telan, sehingga aku bisa bertahan sedemikian hebatnya dengan titel “Pacar Seorang Pengedar Narkoba”.

Namun waktu berlalu. Aku sudah semester 4, di jurusan Teknik Elektro. Aku mendapatkan perguruan tinggi yang aku inginkan, dengan jurusan yang aku inginkan. Miris jika dibandingkan dengan nasib kekasihku yang SMA saja dia nyaris lulus. Padahal ia tak pula bodoh. Otaknya hanya pada taraf biasa saja. Aku bisa mendeklarasikan dia hanya terjerumus, sekaligus sial. Ia sendiri berani bersumpah ia tidak pernah mengecap barang haram itu. ia hanya “membantu” mengedarkannya. Pada dasarnya bukan anak yang berandal, dia sudah tertangkap basah di aksi pertama. Mungkin disanalah bertumpuk kebodohannya. Maka ia tertangkap, dijebloskan ke penjara, dalam kondisi tidak tahu apa-apa dan shock yang amat-sangat. Rasa kasihanku membuncah.

Namun waktu berlalu. Aku sudah semester 4, dan berarti sudah dua tahun lewat aku mendapatkan email rutin dari Aji. Sebenarnya pengirim email itu beratas namakan Briptu Wijoyo Bondan, seorang polisi yang menjaga tempat bernaung kekasihku itu. Aji tidak mungkin mengirimkannya secara langsung. Ia diberi kesempatan oleh beliau untuk berkomunikasi denganku melalui email, karena aku sudah merantau ke kota lain sehingga tak bisa sering menjenguknya. Aji akan menulis apapun yang ada dipikirannya dan ingin ia bagi padaku dalam secarik kertas, kemudian memberikannya ke bapak yang baik hati itu. sudah tak terhitung email yang aku terima. Juga sudah tak terhitung email yang telah ku balas. Biasanya aku sangat bersemangat setiap tanggal 16. Betapa aku merindukan lelaki itu...

...namun waktu berlalu. Aku bingung, apakah aku masih setia pada peranku atau tidak. disini aku menemukanku sudah lelah dengan semua ini. Aku terpapar dengan lingkungan yang luas. Aku berteman sebanyak-banyaknya. Tak jarang aku menghabiskan waktu dengan lelaki lain meskipun tidak ada hubungan khusus lain yang aku bangun. “ Terimakasih sudah mencintaiku seperti dulu. “, hatiku miris luar biasa saat membaca kalimat itu yang selalu ia tulis setiap mengawali suratnya. Ia naif. Naif sekali. Aku...aku sudah tidak mencintainya seperti dulu. Berat rasanya bagiku semua ini. Aku menunggu tanpa tujuan. Aku kini sudah kembali ke logika dan rasionalitas kehidupan. Orang tuaku juga tak akan setuju masa depanku dihabiskan dengan calon menantu yang bercatatan buruk. Sementara tak mungkin aku menampar pipi Aji dan menyadarkannya bahwa ia kini sendirian. bagaimana bisa ia berpikir bahwa hanya akulah yang ia miliki, sementara disini aku sedang bergegas untuk pergi?

Kudapati posisiku selalu berat. Bersamanya berat, meninggalkannya pun berat. Aku membaca ulang beberapa kali email yang dikirimnya. Aku harus bagaimana? Aku harus bagaimana..?

Sayang, apabila handphone menerima panggilan, ia akan meningkatkan sinyal penerimanya. Sinyal tersebut akan mengganggu microphone, menyebabkan terjadinya noise atau suara yang kamu dengar itu karena...

Save as draft.

Maaf, sayang. Mungkin pertanyaanmu takkan terjawab sekarang. Aku butuh waktu untuk berpikir. Bukan, bukan tentang pertanyaannya yang sulit. Hanya saja...

Aku ini wanita, beserta segala kebutuhanku. Aku wanita dewasa, kamu juga pria dewasa.

Berdoalah kalau itu tadi bukanlah surat terakhirmu untukku.
Ah, kalau kalian jadi aku, apa yang akan kalian lakukan?

Comments

Post a Comment

jangan lupa kasi komen yaa kakaaaa :3

Popular posts from this blog

music is in you, isn't it?

Interpretasi puisi : Aku Ingin, karya Sapardi Djoko Damono

Ibu yang Tidak Ideal