Rindu

Adzan Maghrib
Berkumandang
Disana belum
Aku ingin menelepon ibuku
Menangis-nangis.
Ku katakan padanya.
Aku merindukannya
Aku berat disini.
Aku takut akan kecewanya
Aku ingin meminta maaf
Sebesar-besarnya


Namun takut lah aku

Makin cemas dirinya
Biarlah aku tertawa-tawa saja
Yang didengarnya
Sementara di adzan Maghrib ini --selagi disana ia belum mendengarnya
aku ingin terisak-isak dulu

-Adzan Maghrib, 8 April 2015

---
aku memang biasanya menulis puisi. aku memang biasanya menangis.
lebih biasanya lagi aku menangis lalu menulis.
namun yang paling jarang adalah aku menulis lalu menangis.

di baris-baris puisi tanpa diksi itu, aku masih berusaha untuk menahan air mataku. usahaku rupanya gagal total beberapa menit setelahnya. aku rindu ibuku, sumpah. semua serasa semakin menjadi-jadi. baru saja hari kedua ujian tengah semester, aku rasanya sudah babak belur. belum lagi keadaan tubuhku yang terus digerogoti virus. aku seperti sudah lupa rasanya sehat wal afiat, saking terlalu banyak penyakit penyakit kecil tapi mengganggu terus ada dalam tubuhku seperti untaian rantai, mungkin ini hanya sakit kelelahan. mungkin ini hanya sakit kangen ibu.

bahasanya 'home sick'? entahlah.

aku rindu ibuku. kenapa aku harus jauh-jauh kuliah disini? kenapa aku tidak menemaninya saja, membantunya mengurus adikku dan membersihkan rumah? sesaat aku meragukan keputusanku yang selama ini membahagiakanku. ah, andai saja di kampungku jurusan Teknik Informatika-nya sudah tersohor dimana-mana, menjadi bagian dari si Universitas nomor satu se-Indonesia, pasti tidak begini jadinya. apalah yang ku kejar. ku kejar ilmu, namun yang ku temui hanya aku yang terkungkung mengejar angka. mengejar angka, mengejar abjad, mengejar nama. apalah yang ku lakukan.

wajar aku rindu ibuku.

----

setengah jam lalu ku telepon ibuku. alhamdulillah aku tidak meneteskan setitik pun air mata, bahkan bisa tertawa mendengar cerita-ceritanya (kebetulan ibuku dalam keadaan good mood). mungkin hanya 'berjumpa via suara' yang bisa ku lakukan untuk saat saat seperti ini. percakapan 32 menit dan diakhiri oleh kumandang Adzan Isya dari sana. suaranya cukup untuk membuat senyumku kembali terkembang.  ah, entahlah.

semangat belajar saja. beliau menunggu aku pulang ke rumah.



my everything's everything.


Comments

Popular posts from this blog

music is in you, isn't it?

Interpretasi puisi : Aku Ingin, karya Sapardi Djoko Damono

Ibu yang Tidak Ideal