Jurnal 9 ; Akhir yang Bahagia ; hari 7

Jurnal 9 ; akhir yang bahagia ; hari 7

Hai. Yah, ini jurnal terakhir yang akan aku tulis. Karena kalian tahu apa? Masalahnya sudah selesai!

Hari yang panjang. Amat sangat. Tapi untuk menebus helaan nafas yang ringan seperti ini, aku rela melakukan apa saja!

Yah, tujuh hari terakhir, aku menulis jurnal. Di sebuah blog privasi. Blog itu bisa dibuka siapa saja, tapi tentu saja tidak bisa di deteksi oleh search engine. Alasan aku menulis sebuah jurnal adalah karena aku baru saja didera masalah yang lumayan rumit. Masalah yang judulnya lumayan klise : ditinggalkan.

Seperti biasa, masalah akan membuat kita lebih dewasa. Begitu juga aku. Aku tahu, aku masih meng-angsur angsur sedikit demi sedikit menuju sifat dewasa itu sendiri yang sangat sulit untuk dicapai. Aku masih dalam kepeningan otakku. Ke over thinking-an ku. Ke gegabahan ku. Kebodohan. Dan lain lainnya. Tapi seperti mengupas salak, ada kalanya orang bisa mengupas salak itu sekali kopek (aduh, apasih bahasa indonesia nya kopek?), bisa langsung terbuka semua kulitnya yang kasar dan keras itu. Tapi ada kalanya orang mengupas salak memang harus mencongkel (ini apa lagi, mencongkel) sedikit demi sedikit. Melukai jempol. Nah, akulah salah satu salak yang kurang beruntung. Untuk mengupasnya, jempolku sangat kecil dan mengalirkan banyak darah. Tapi tetap saja, setelahnya akan ada salak yang mulus (mulus bener ya?) yang bisa kita nikmati dan tentu saja, jangan makan bijinya.

Lupakan soal salak. Jadi ceritanya salakku, eh, masalahku ini berawal dari martabak. Iya, martabak. Martabak manis. Rasa coklat. Aku mengantarkannya ke seseorang. Tidak aku sangka martabak itu mengantarkan aku ke banyak adegan ftv. Setelah mengantar martabak itu, aku menangis diatas fly over. Dengan motor beat dan helm scoopy, berarti disponsori oleh honda (ini bukan posting berbayar). Setelah mengantar martabak itu, kegelisahan menghambat jam tidurku.  Singkat cerita, niat surprise yang sangat mulia itu kurang tepat sasaran. Surprise yang kurang tepat waktunya. Surprise yang dibayar dengan penolakan bertubi tubi. Jadi, yah, begitu.

Aku dilarangnya menghubunginya. Dia ingin fokus belajar, katanya begitu. Akan ada peperangan yang akan dihadapinya. Menghitung hari. Yah, aku mengerti. Dengan kaki dan tangan yang bergetar, bibir yang pucat, aku mengangguk. Baiklah. Biarlah aku ditinggalkan dulu. Meski ditinggalkan tanpa bisa menjelaskan, meminta penjelasan, bahkan meminta maaf. Ditinggalkan ditengah hutan. Tanpa peta. Tersesat.



Setidaknya aku tidak memutuskan untuk bersahabat dengan monyet yang berbulu biru muda karena keadaan yang tersesat ini. Aku memutuskan untuk kembali ke sahabatku, blog. Aku menulis. Aku hanya bisa menulis. Aku gunakan blog privasiku yang agak berdebu. Aku menulis rutin disana. Tangis tangisku, marah marahku, takut takutku, semua perasaan yang jungkir balik tumpang tindih, aku keluarkan lewat sebuah jurnal. Jujur se jujur jujurnya. Aku sedih ditinggalkan. Aku takut kehilangan. Aku marah karena ditinggalkan dengan keadaan yang tidak jelas, samar samar, dan aku harus menduga duga dari hal yang paling positif sampai hal yang paling dramatis. “jangan jangan dia kecelakaan”, ya, aku sempat berfikir demikian, kok.

Hari 1. Hari 2. Hari 3. Hingga hari ini, hari 7. Hari 7 ini adalah hari yang paling panjang sepertinya. Karena pada hari yang berbahagia ini, salakku sudah terkupas habis. Jempolku sudah diperban. Dengan cara apa? Simple. Penjelasan.
Dia membaca jurnal yang sudah ku tulis di hari hari tanpa dia. Aku tidak tahu dia terenyuh atau tidak, tapi setidaknya kalimat kalimat tak berbentuk yang aku tulis panjang lebar itu, mampu membuatnya berbicara. Ia menjelaskan apapun yang ingin aku ketahui. Alasan, keadaan, maaf dan terimakasih. Yak, itu cukup. Cukup sekali, untuk membayar segala degup degup jantung akibat perasaan yang tidak tenang. Tidak tenang karena pertanyaan pertanyaan yang belum dijawab itu. “kenapa kamu meninggalkan aku?”, “apa yang terjadi di kamu?”, “maafin aku ya, Bud..dan makasih banyak karena kamu....”. kata kata itu sudah terjawab. Dan aku super, duper, lega, sekarang.

Jadi. Tujuan aku menuliskan ini untuk kalian semua adalah, aku ingin membagi pelajaran pelajaran yang aku kutip dari masalah ini.

Pelajaran pertama adalah, kadang orang orang membiarkanmu sakit, dan itu tidak apa.
Itu sangat normal, sahabatku. Orang orang tidak menyakitimu secara langsung. Sakit itu hanya perpindahan energi antara kamu dan keadaan, dan kamu berkata “dia menyakitiku!” karena dia membiarkanmu sakit. Kesakitanmu bukanlah salah mereka, tetapi karena keadaan yang mereka ciptakan yang tentu saja sebenarnya tidak bertujuan untuk menyakitimu. Wajar saja kan, mereka membiarkanmu sakit?  Kadang orang orang membiarkanmu jatuh, dan itu tidak apa. Itulah gunanya kamu. kamu jangan ikut ikutan membiarkanmu sakit. Bangkitlah. Apapun yang kau perlukan untuk bangkit, ambil. Oleskan sendiri. Perban sendiri. Kalau butuh bantuan, teman selalu ada. Jangan minta mereka memasangkan perbanmu, tapi tanyalah “apakah perbanku ini sudah rapi?”.

Pelajaran kedua adalah, satu obat tidak bisa menyembuhkan semua penyakit. Percuma saja kamu suntik polio kalau kamu sakit demam. Begitulah, maksudku. Aku sempat ingin menjadi obat untuk dia. Aku lihat ia terlalu larut dalam kesendiriannya. Aku ingin dia sadar kalau dia itu tidak sendiri. Aku ingin dia sadar dan bersyukur ada seseorang yang sangat memedulikannya, mendukungnya dan berdiri dibelakangnya. Ternyata, kesendirian itu bukanlah penyakitnya. Ia bahkan amat sangat nyaman dengan kesendiriannya. Dia bilang kalau itu alamnya. Percuma. Ia tidak butuh obat. Daripada overdosis tidak sesuai petunjuk dokter, biarkanlah.

Pelajaran ketiga adalah, definisi bahagia orang berbeda beda. Itu sudah aku bahas dari posting yang kemarin. Skip ya.

Pelajaran keempat adalah, menulislah. Terlepas dari “aduh aku nggak bakat nulis” atau apapun, tapi menulislah. Jujur, kalau aku tidak menulis jurnal, mungkin masalah ini tidak akan selesai. menulis tidak butuh telinga orang lain. Menulis hanya butuh diri sendiri. Dalam keadaan kepalamu penuh dengan kata kata yang ingin kamu sebutkan ke seseorang, tulislah. Tulislah. Tulis. Aku tidak menyuruh kamu untuk nge blog, tulislah dimanapun kamu mau. Di blog, buku catatan, buku coretan, bukan buku. Akan ada yang tumpah dari sana. Akan ada yang mengalir dari sana. Aku tidak pernah menyiapkan jurnal ku untuk dibacanya. Alasan pertama aku menulis jurnal adalah untuk aku sendiri. Tapi, akibat aku sudah kehabisan kata kata olehnya, aku membukakan jurnalku. Dan lihat. Dia tahu, aku ingin bilang apa. Dia jadi tahu, apa yang aku inginkan. Menarik, bukan?

Pelajaran kelima adalah..
Tips on falling in love. Don’t.


Itu sih kata 9gag. Gilak, trauma parah saya gara gara masalah cinta cintaan. Sepertinya dalam waktu dekat (mungkin jauh) ini, aku akan jauh jauh dulu dari asmara. Terserah deh mau fokus kemana, asal jangan kesana. Karena aku kalau udah kenak, pasti fokus kesitu terus. Cara aku mencintai orang sama saja dengan cara aku mencintai hobi dan mencintai Adele. Satu kata ; fanatik.
Makanya, jauh jauh dulu sampai sembuh.

Kata kata ini sering keluar dalam otak aku,
“..... mungkin aku mati, tapi aku akan hidup karenanya. “
Misalnya pas tenggorokanku sakit. Aku akan berkata “tebaslah leherku, mungkin aku mati, tapi aku akan hidup karenanya.” Mungkin aku akan mati karena tidak ada leher, tapi aku terbebas dari siksaan sakit tenggorokan.
Maksudku adalah, seperti ini. Ditinggalkanmu mungkin aku mati, tapi aku akan hidup karenanya. Terimakasih telah membuat aku hidup kembali karena aku ditinggalkan. Setidaknya karena ditinggalkan dengan alasan, aku tenang. Hidup baruku sebagai mahasiswa (semoga saja) akan amat sangat menyenangkan. Aku akan hidup kembali. Aku tampaknya akan mencintai Jogjakarta. Lihat, Bud. Lihat cahaya mataku. Terimakasih atas segala pelajarannya. Aku menyayangimu. (terlepas menyayangi sebagai apa dan apa ya, persetan pokoknya!)

Baiklah, segitu saja. Semoga pelajaran yang aku dapat juga berguna bagi orang lain. Sengaja bikin banyak analogi, biar sekaligus mikir dan mengambil amanah sesuai perspektif masing masing. Terimakasih sudah baca!

Dicatat offline. Jogjakarta, 19 Juni 2014. 23.36. Ide tulisan tentang akhir yang bahagia ini disponsori oleh jalan kaliurang yang susah untuk disebrangi. Tapi tetap saja, aku tersenyum sambil menyusurinya.

ps : sebenarnya bukan ini sih. jurnal 9 ; Akhir yang Bahagia ; hari 7 versi explisit di blog satu lagi, wkwkwk

Comments

Popular posts from this blog

music is in you, isn't it?

Interpretasi puisi : Aku Ingin, karya Sapardi Djoko Damono

Ibu yang Tidak Ideal