Tatapan yang Tak Berhenti
A Short Story
Inspired from this
Tatapan
yang Tak Berhenti
Hari ini, masih
dari jauh.
Nanar, ada percikannya disitu
Jauh menggema ke semesta
Kedip, lupa terjadi disitu
Penting sepersekian jangan
terlewat
Dia sedang berdiri,
mungkin beberapa meter dariku. Dia berbicara dengan muka datarnya bersama
beberapa temannya. Wajah teman-temannya juga
tidak asing. Aku kira aku bisa menebak dengan siapa saja dia berbicara.
Yah, walaupun aku harus berpura-pura tidak tahu, menggenggam cup minumanku yang
baru saja ku beli dikantin. Teman-temanku juga masih berbicara-bicara
disebelahku, namun tentu saja mereka memaklumi apa yang aku lakukan. aku
menelan konstan cairan dingin dari sedotan, dan terus menatap orang yang sedang
sibuk itu. Lelaki yang sedang sibuk itu. Lelaki yang sedang tidak menyadari
keberadaanku sama sekali. Ya, aku tahu, jarakku juga terlalu jauh untuk
disadarinya. Tetapi aneh rasanya, walaupun dengan jarak sejauh ini rasanya aku
sudah bisa keseluruhan darinya, bahkan sudut-sudut pakaiannya yang tidak rapi.
Berlebihan? Bisa jadi. Aku hanya terlalu terlatih. Terlatih memperhatikan orang
dari jauh. Apalagi memperhatikan dia. Mungkin sudah hampir 2 tahun, semenjak
aku berada disatu sekolah dengannya. Astaga, itu kebahagiaan yang luar biasa.
Sudah sudah, aku bisa menghabiskan banyak waktu kalau aku harus menceriterakan
kebahagiaan dan kebetulan yang hebat itu.
Hei, hei! Astaga, dia melihat ke
arah sini!
Tunggu...dia...menatapku?
Aku sudah tak merasakan suhu
dari minuman yang sudah ku seruput daritadi, apalagi menelannya masuk ke
kerongkonganku. Aku terpaku, membeku.
Ini dunia sedang berhenti ya?
Kenapa rasanya lama sekali? Mohon, aku ingin bernafas! Dia...benar-benar
menatapku.
Menyadari keberadaanku...
Ah, sudah selesai.
Mata kami hanya bertemu sekitar
3 detik. Dia kemudian kembali hanyut
dalam canda tawanya disekitarnya, dan memalingkan muka ke arah lain. Begitulah,
aku sudah kembali ke dunia nyata. Minumanku juga sudah habis. Yasudahlah, tak
apa. Aku rasa aku juga harus baurkan diri ke obrolan teman-temanku yang sangat
berisik ini. sangat berisik memang, lucunya saat tiga detik terbaik tadi, tidak
terdengar apa-apa.
Sempat kau lupa aku
Mungkin udara tak terhirup
lagi
Gulung menggulung badai hampa
menghembus
Ku telah mati sebelum yang
lain lari pontang panting
Jangan bilang aku
pengagum rahasia biasa. Aku adalah yang profesional, yang bisa dibilang sudah
berhasil. Berhasil, sedikit. Aku pernah mengenalnya, beberapa kali
berkomunikasi dengannya dan, yah, dia mengenalku. Mungkin itu alasannya mengapa
ia melihatku tadi. Mungkin dia mengenal wajahku. Tidak, kami tidak pernah
berpapasan. Kami tidak pernah bercengkrama secara langsung. Ini hanya terjadi
di sosial media. ah, teknologi. Bolehlah kalau aku bilang keberhasilanku yang
super sedikit itu dibantu oleh akun-akun dunia maya yang aku punya. Hmm,
sebentar lagi dia akan pergi dari sekolah ini. dia adalah kakak kelasku. Sudah
cerita yang pasaran sekali bukan, seorang adik kelas kagum sekaligus jatuh
cinta berat dengan kakak kelasnya? Aku juga tak bisa memilih roman apa yang
ingin ku jalani. Tetapi terakhir kami berkomunikasi, rasanya sudah sangat
sangat lama. aku kira selama ini dia melupakanku. Tetapi, setelah dia menyadari
keberadaanku tadi, senyumku mengembang. Dia pasti masih ingat. Dia pasti masih
ingat. Dia...pasti masih ingat...kan?
Sebab tatapan yang tak berhenti,
dan ronanya yang terus terasa,
dan darahnya yang terus
berbuih,
mencubit pelan.
Tak bisa keras.
Makanya, tak sadar-sadar.
Aku harusnya tahu,
ini semua adalah sia-sia. Dia sebentar lagi akan pergi. Disini saja, disatu
lokasi yang sama, terbentang sedikit saja jarak, aku tak pernah diliriknya.
Jangan berharap dia akan memilihku. Suatu hal yang tak mungkin, tak akan
mungkin. Ini bukan tentang kepesimisan, tetapi saat kamu disuruh mengecat
langit, kamu jelas-jelas tak akan melakukannya kan? Aku sadar diri, aku hanya
segelintir. Begitulah, bodohnya aku. Aku masih saja terus mengekori semua
gerakannya dengan pandanganku. Lupa berkedip, untung saja masih ingat bernafas.
Aku masih saja berdebar-debar kalau saja aku tiba-tida sadar dia disebelahku
saat semua siswa sedang berdesak-desakan dikantin. Aku masih ingin lari memutar
arah, jika melihat ia berjalan di koridor yang sama denganku. Aku masih
berusaha tetap tenang, seakan tidak terjadi apa-apa, padahal rasanya aku sudah
mau muntah karena keberadaannya yang jelas sekali bukan untuk menyapaku,
bertanya padaku atau berbicara denganku. Mungkin aku akan pingsan kalau dia
tiba-tiba datang dan berbicara padaku. Apalagi kalau dia jatuh cinta padaku.
Tak mungkin, tak mungkin, itu
adalah saat dimana organ-organ tubuhku akan mati suri sejenak. Menunduk diam,
kemudian bersorak. Bekerja sangat cepat. Tapi lagi, lagi. Tak mungkin. Makanya,
harusnya aku sadar kalau aku tidak bisa berlama lama seperti ini.
Tapi...tetap saja.
Semua perasaan ini mencubit
pelan, tak bisa keras. Makanya, tak sadar-sadar.
--------------------
sebelumnya diketik 31 maret 2013