we could have had it all


A short story
WE COULD HAVE HAD IT ALL
Faroh Nur Alfani



“ eh, aku pulang dulu ya. “ sayup terdengar dari kejauhan seorang cewek yang berkaus kaki tinggi menderapkan kakinya untuk segera pulang. Dia hanya melambaikan tangannya kecil sambil pamit ke teman temannya yang duduk di koridor kelas dengan meneriakkan kata kata tadi.
                “ iya, Ran. Hati hati. “ ada gumaman dari jauh. Bukan dari teman teman yang dipamitkan tadi. Tapi jauh, lebih tepatnya jauh diseberang koridor kelas tempat cewek itu berada. Tentu saja, cewek itu tak mendengar apa apa.
                Rana, begitulah sapaan cewek yang kini hanya punggungnya yang bisa dilihat oleh Aan. Padahal dulu, bukan hanya punggungnya saja yang bisa terlihat, tetapi senyumnya, wajahnya, rambutnya, tahi lalat di lehernya, kaus kakinya yang selalu lebih tinggi dan paling tinggi dari cewek cewek lain, dan kadang dengan kacamata jika ia harus memandang jarak jauh atau sedang belajar. Sekarang? Mungkin keberadaan Aan tidak pernah disadari oleh Rana. Padahal mereka berada disekolah yang sama.
                Punggung Rana sudah tidak terlihat lagi. Mungkin dia sudah diparkiran, atau dimana. Aan masih hanya bisa duduk diam, memperkirakan apakah mobil Rana sudah keluar dari pekarangan sekolah. Jika sudah, barulah ia akan pulang.
                Bagi Aan, Rana masih sama seperti yang dulu. Atau tidak, perasaannya ke Rana yang masih sama seperti yang dulu. Rana, cewek terlama yang pernah bertahan bersama Aan. Membuat Aan merasakan  hubungan yang sebenarnya. Mendapatkan perhatian yang benar benar luar biasa. Rasa sayang. Semuanya. Menghadapi apapun perlakuan Aan, kelakuan Aan, kesibukannya, kecuekannya, segalanya. Masih tetap bertanya “udah makan? Udah sampai rumah?” walaupun sudah menunggu berjam-jam lamanya ditengah malam. Masih mau mengelus rambut cowok berumur 18 tahun itu.
                Menciptakan suasana yang hangat, terlalu hangat untuk dilupakan.
                Aan tahu, sekarang sudah ada cowok lain yang mendekati Rana. Aan tahu jelas siapa yang sudah ditolak Rana, siapa yang mencoba mendekati Rana, dan siapa yang Rana suka. Informasi-informasi itu Aan dapat semata-mata dari mencari tahu darimana pun. Entah dari teman Rana, update-update di jejaring sosial, segalanya. Sudah sekitar tiga bulan Rana single, begitu juga Aan. Tapi Aan tidak kemana mana. Dia masih stuck. Dan sudah sekitar tiga bulan pula, Aan seakan menjelma menjadi pengagum rahasia Rana. Menatap dari jauh menunggu cewek itu pulang, mendengar tawa cewek itu dari meja yang berbeda di kantin, atau menunggu tulisan cewek itu di mading sekolah. Rana tergabung dalam suatu ekskul mading di sekolah, dan akan menempel hasil tulisannya di mading, entah itu puisi, cerita pendek, atau sekedar artikel.
                Aan tidak tahu, bagaimana cara dia dan Rana bisa dipersatukan. Aan hanyalah senior kelas 3 yang biasa saja. Seorang cowok yang cuek, menggabungkan diri dalam sebuah band, dan memiliki beberapa teman yang agak liar sehingga ia sering keluar malam. Kadang ia menghabiskan waktunya dengan cabut dari pelajaran yang tak penting disekolah dan merokok di lapangan belakang. Nilainya pas pasan, tampangnya pas pasan, hanya tingginya saja yang membuatnya tampak lebih baik. Sisanya? Bajunya tidak rapi, rambutnya acak acakan, tasnya mungkin sudah robek robek. Sementara Rana, sophomore yang benar benar biasa saja. Mengikuti ekskul mading, tidak pandai olahraga, takut melanggar peraturan sekolah. Itulah alasannya dia memakai kaus kaki yang tinggi, karena kaus kaki pendek dilarang disekolahnya. Sebenarnya untuk mengenakan kaus kaki diatas tumit sebenarnya sudah cukup. Hanya saja dia sudah mengamankan diri menggunakan kaus kaki hingga betis. Badannya pendek, wajahnya juga biasa saja. Tidak pula cantik dibanding teman-teman seangkatannya. Jika dilihat lihat pun, tidak ada nilai plus dari dirinya yang bisa menarik perhatian  kakak kelas. Apalagi seseorang seperti Aan.
                Pada awalnya Aan dan Rana tidak saling mengenal. Rana hanya tahu Aan, dari kenakalan Aan yang sering diceritakan guru guru saat mengajarnya. Begitu pula Aan, Aan hanya tahu Rana dari tulisan-tulisan di mading. Mungkin mading adalah satu satunya tempat yang mau disinggahi Aan disekolah. Aan lebih sudi berdiri lama membaca mading, daripada harus ke perpustakaan. Menurutnya mading menyediakannya bacaan bacaan menarik. Mungkin memang mading yang mempertemukannya dengan Rana. Saat itu Aan yang masih kelas 11 sedang membaca mading sekolah, dan kemudian Rana datang dengan membawa beberapa lembar kertas untuk ditempelkan di mading.
                “ permisi kak. “ dengan sangat segan Rana meminta Aan untuk minggir dari posisi berdirinya yang menghalangi mading. Sejujurnya Rana tidak mau mengganggu Aan yang sedang membaca, hanya saja dia harus menempelkan artikel-artikel baru di mading itu, dan tidak bisa dia lakukan jika ada Aan berdiri disana.
                “ hmm. “ Aan acuh tak acuh melihat ada junior  meminta dia untuk minggir. Seingat Aan dia sedang membaca artikel mengenai pertandingan bulu tangkis yang diadakan pada musim itu. Dia terpaksa berhenti membaca sebentar dan mundur beberapa langkah, agar cewek tadi bisa menempelkan artikel baru. Dengan jarak yang agak jauh, Aan meneruskan bacaannya. Sampai ada tangan yang menggapai-gapai untuk menempelkan kertas ditempat yang agak tinggi menarik perhatiannya.
                “ makanya dek, tinggian dikit. “ Aan mengambil kertas artikel digenggaman Rana, dan menempelkannya. Aan menyalurkan tangannya untuk meminta paku mading, sementara Rana dengan amat sangat malu menyodorkan satu paku mading. Rana mengutuk-ngutuk tinggi badannya yang mempermalukannya didepan kakak kelas.
                “ makasih kak. “ Rana terpaksa harus mendongakkan sedikit kepalanya untuk sekedar berterimakasih. Sementara Aan hanya mengangguk, masih terfokus pada bacaannya. Rana telah selesai menempeli mading itu. Ia ingin segera pergi. Saat dia membalikkan badan, ternyata Aan memanggilnya.
                “ yang punya adek yang mana nih? “ Aan menunjuk beberapa artikel baru.
                “ yang itu kak. “ tangan Rana mengarah kepada sebuah kertas hvs bertuliskan puisi. Aan melihat sebentar. Saat ingin membacanya, bel masuk kelas pun berbunyi. Dengan refleks Aan menarik kertas itu di mading.
                “ kakak ambil ya, bikin lagi, tempel lagi besok. “
                “ eh. Oke kak. “ Rana kaget. Dia amat sangat tidak menyangka Aan yang tampangnya seperti itu bisa tertarik dengan puisi.
                “ makasih... “ untuk sebentar Aan melirik kertas tadi dan mencari sebuah nama.
                “...Rana. “
                Sebelum mengucapkan kata kata terimakasih kembali, Aan membalikkan badan dan beranjak pergi. Rana pun juga biasa saja. Tidak ada firasat apapun saat itu. Rana hanya memikirkan bagaimana dia menulis puisi baru, untuk ditempel besok. Sebenarnya hal itu tidak boleh. Tiap anggota ekskul punya jadwal piket tiap tiga hari sekali, dan harus bertugas pada hari masing masing. Jika Rana menempel besok, berarti dia bekerja di jadwal piket temannya. Tetapi rasanya tidak apa, untuk menutupi satu artikel saja.
                Sementara Aan dikelas duduk dan membaca puisi dari Rana. Hanya puisi biasa. Tidak ada yang membuat kesan apa-apa. Saat gurunya sudah masuk, puisi itu diselipkannya di buku cetak.
                Mungkin itu kejadian pertama pertemuan mereka. Sementara bagaimana mereka bisa terikat dalam suatu hubungan, semua karena mading. Entah kenapa sejak saat itu, setiap artikel yang ditulis oleh Rana, dicabut lagi oleh Aan. Bahkan pada artikel berita sekalipun. Beberapa hari Aan mencabut artikel Rana, tidak ada yang sadar. Sampai akhirnya sudah 3 minggu, dan 6 kali isi mading sudah diganti, baru ada seorang teman Rana mengatakan bahwa 3 minggu itu dia tidak membaca satu artikel pun dari Rana. Rana mengecek sendiri keberadaan artikelnya di mading. Ternyata memang hilang. Walaupun kemarin jadwal piketnya dan dia yakin kalau dia sudah menempel artikelnya, artikel itu tidak ada.
                Besok paginya  Rana mem-print artikel yang sama untuk menggantikan artikelnya yang hilang kemarin. Rana terlalu gusar, berarti tidak ada tulisannya yang dibaca orang dalam waktu hampir sebulan. Letak mading pun jauh disebrang kelas, sulit untuk diawasi. Tapi tidak mungkin dia akan membiarkan artikelnya dicabut terus-menerus. Ketua ekskulnya bisa memarahinya dan menganggap dia berhenti menempelkan artikel. Saat waktu pulang, Rana bergegas ke mading. Ternyata artikelnya masih ada. Awalnya Rana merasa lega, tetapi  ia merasa perlu untuk mengawasi beberapa lama, siapa tahu si “pencuri artikel” beraksi saat setelah pulang sekolah. Rana duduk didekat mading untuk menunggu sekitar 15 menit, mengawasi jika ada yang membaca mading dan mencabut miliknya. Dia tampak seperti orang bodoh, duduk sendiri didekat mading, memperhatikan tiap orang yang membaca mading saat itu. Tidak ada yang mencabut artikel dari sana.
                Kemudian Aan datang, berdiri sebentar didepan mading, dan mencabut artikel Rana. Rana kaget. Bagaimana cara ia menegur seorang kakak kelas yang ternyata mencabut artikelnya. Tapi dia harus. Dengan menelan ludah sedikit, dia memberanikan diri tegak mendekati mading.
                “ kak. Kok dicabut artikelnya? “
                “ eh, iya. Aku mau pulang. Jadi artikelnya dibaca dirumah aja ya. “
                “ maaf, kak. Artikelnya gak boleh dicabut. “
                “ gak boleh ya? “
                “ enggak kak, hehe. “
                “ sekali lagi aja ya. Besok pagi aku tempel lagi, kok. “
                Rana menyerah. Akhirnya dia hanya mengangguk dan meringis masam. Yasudahlah, untuk yang terakhir kali.
                Pagi berikutnya Rana ingin mengecek mading lagi. Dia sudah mempersiapkan artikel pengganti siapa tahu Aan tidak mengembalikan artikelnya yang kemarin. Tapi, saat ia sudah sampai dimading, ternyata Aan sudah duduk diam disebelah mading. Rana melihat mading, ternyata sudah ditempeli artikelnya yang kemarin. Dan kenapa Aan masih ada disana?
                “ makasih kak, udah ditempel lagi. “ Rana membuyarkan lamunan Aan yang duduk diam didekat mading.
                “ ah, iya. “ Aan tercekat. Dia seperti ingin mengutarakan sesuatu. Sebenarnya dari tadi ia menunggu Rana. Tasnya masih disandangnya, ia  tidak langsung masuk ke kelas pagi itu. Dia ingin bertemu Rana.
                Rana membalikkan badannya karena merasa tidak perlu menempelkan artikel baru, seketika Aan mencegatnya.
                “ R..Rana. “
                “ apa kak? “ Rana kaget dan takut. Apa ia terlibat dalam masalah sekarang?
                “ Aan. “ Aan menyodorkan tangannya, mengajak berkenalan. Rana makin bingung. Dia pucat saat itu.
                “ Rana, kak. “ lagi lagi Rana hanya bisa meringis. Jantungnya berdebar, entah mengapa. Pagi itu Aan tampak rapi. Mungkin karena masih pagi.
                “ umm.. Makasih artikelnya, Ran. “ Aan memberanikan diri untuk bicara. Dia merutuk, dia juga grogi saat itu. Ntah kenapa, dia malu kenapa dia harus grogi berbicara dengan seorang adik kelas.
                “ hehe, gapapa kak. “
                “ enggak. Ini makasih yang benar benar terimakasih. “ Aan kembali ke tujuan awalnya. Dia melepas lagi artikel yang sudah dipasangnya tadi.
                “ makasih. “ Aan menunjukkan artikel yang diambilnya ke Rana. Rana membaca judulnya pelan. ‘Bahaya Merokok’, sebuah artikel yang diketiknya dua hari lalu. Lalu kenapa?
                “ emang kenapa kak? “
                “ berkat artikel ini, akhirnya aku nemuin satu alasan untuk berhenti merokok. “
                “ ah, serius kak? “  Rana semakin kaget. Padahal artikelnya biasa saja. Kalau mau cari di internet, akan lebih banyak artikel lebih bagus daripada itu.
                “ serius. “
                “ di internet juga banyak kali, kak. Itu malah bahasanya aneh, soalnya Rana karang sendiri. “
                “ lihat bagian yang ini “
                Pada paragraf yang ditunjuk Aan, ada paragraf mengenai bagaimana anak yang merokok mempengaruhi orang tuanya. Sekarang Rana paham maksudnya.
                “ jadi... “ Rana speechless. Dia tidak tahu mau bilang apa.
                “ ya. Aku berhenti merokok sekarang. Makasih ya. “ senyum Aan saat itu mengawali perasaan mereka berdua. Aan memang benar benar berhenti merokok. Entah keajaiban apa yang membuat ia memutuskan berhenti setelah bertahun-tahun merokok. Semua teman-temannya perokok, entah apa reaksi mereka jika tahu bahwa dia tidak ingin meneruskan kebiasaan buruk itu. Tetapi ia memang bertekad. Ia memang tergerak karena artikel kecil Rana tadi.
                Dan yah, dia juga jatuh cinta pada Rana.
                Aan berusaha mendekatkan diri kepada adik kelasnya itu. Teman-temannya tak percaya. Selama ini, tidak ada cewek yang disukai Aan seperti Rana. Rana hanyalah tipikal adik adik kelas yang biasa saja. Dan bisa dibilang begitu kontras dengan Aan. Aan seperti mencintai anak kecil yang tidur sebelum jam 10 malam, padahal ia masih menghirup angin malam dan menyusul ke alam mimpi 4 atau 5 jam kemudian. Tapi begitulah cinta membawa Aan untuk terus mendekati Rana. Berusaha untuk bangun dan datang kesekolah lebih awal agar dapat menyapa Rana di pagi hari. Menghapal jadwal piket mading Rana, agar dapat membantunya menempeli artikel-artikel dibagian yang tinggi. Kerasnya diri Aan seakan lumpuh dihadapan Rana.
                Begitu pula Rana. Hatinya sangat menyambut kedatangan Aan. Rana kembali merasakan jatuh cinta, setelah setahun ia putus dengan mantannya saat SMP. Dengan perasaan senang berbalut tak percaya, ada seorang kakak kelas yang tersenyum lebar saat mendengar derap kakinya disekolah. Ada seorang kakak kelas yang menemani setiap ia sibuk menempel-nempelkan artikel mading, membantunya sambil mengejek tinggi badannya yang tidak bisa menggapai bagian atas mading. Hari-hari sekolah Rana berubah menjadi hari yang luar biasa.
                Aan menyatakan cintanya pada Rana dengan menempelkan pengakuan cinta sebesar besarnya di mading. Ia melepas semua artikel mading dan menempelkan kata kata cinta untuk Rana. Saat Rana menghampiri mading, semua orang sudah ramai. Rana menerima Aan, dengan perasaan yang terlalu bahagia. Sungguh, dia menyayangi lelaki tinggi itu.
                Dihubungan mereka, Aan berada ditingkat kenyamanan maksimal bersama Rana. Seperti menemukan hal yang tidak pernah ia temukan dari semua mantan-mantannya. Dia merasa hidup kembali. Hanya saja, ia tak bisa mengubah kebiasaan-kebiasaan buruknya.
                Rana mungkin cewek yang paling sabar menghadapi Aan. Tipikal cewek Aan selama ini hanya dua, jika ia tidak tahan dengan kelakuan Aan yang cuek, yang sibuk dengan band nya, yang pulang tengah malam, yang cabut, yang dipanggil guru, maka cewek itu berkelakuan yang sama dengan Aan. Tapi tidak, Rana dengan sayang tidak pernah mengeluh tentang Aan. Rana berbicara dengan lembut diujung telepon, saat Aan kecapekan baru sampai rumah jam 1 malam. Rana menunggu diluar ruang guru, jika Aan dipanggil entah karena kenakalannya atau karena nilai Aan yang dibawah standar. Teman-teman Rana menganggap Rana tidak perlu seperti itu. Rana seharusnya bisa mendapatkan cowok yang lebih baik. Rana hanya bisa tersenyum, orang-orang tidak tahu cinta yang dimilikinya seperti apa.
                Waktu berganti, bulan demi bulan dilewati dengan tidak mudah. Terkadang Aan menggubris Rana dengan kasar dan keras. Rana terkadang mulai hilang kesabaran. Perkelahian demi perkelahian mereka tempuh, walaupun ujung-ujungnya mereka kalah dengan rasa sayang masing-masing. Aan kembali menjadi sosok yang keras saat sudah banyak masalah dan Rana tidak selamanya kuat mengalah. Hingga di tahun pertama bulan ketiga, mereka putus.
                Mereka putus karena Rana mengetahui Aan merokok. Hubungan mereka diawali dengan Aan yang berhenti merokok, dan diakhiri dengan Aan yang kembali merokok. Begitu sulitnya Rana menghadapi kenyataan pahit itu. Seakan akan rasa sayang dan pengorbanan  yang Rana telah bangun selama ini tak ada gunanya. Mengubah kebiasaan merokok adalah keberhasilan satu-satunya Rana dalam mengubah Aan, karena masih banyak deretan perilaku buruk Aan yang semestinya bisa Rana ubah. Rana merasa dikhianati. Hatinya dimatikan. Terpuruknya Rana terlalu dalam dan Rana tidak sanggup untuk menerima Aan kembali. Aan memohon-mohon maaf kepada Rana, mengajukan alasan  ia kembali merokok semata mata karena ia banyak masalah. Di logika Rana, mereka selalu menghadapi masalah bersama sama. Tidak masuk akal bagi Rana untuk Aan lari kembali ke naungan rokok, padahal Rana sudah semaksimal mungkin terus berada dibelakangnya.
                Ini adalah bulan ketiga setelah mereka putus. Rana sadar, dari sudut matanya, terasa jelas sekali, tiap hari Aan duduk didekat mading, memperhatikannya dari jauh. Apabila Rana sedang sibuk menempeli mading, saat Rana pergi akan datang Aan untuk membaca artikelnya. Bulan pertama mereka putus, Aan masih terus menghubungi Rana. Tapi Rana rasanya sudah beku. Satu bulan cukup bagi Aan untuk memohon-mohon Rana untuk kembali. Mungkin Aan memang harus mundur. Kesalahannya terlalu besar. Ia menyadari betapa ia menyia-nyiakan seseorang yang paling berharga dalam hidupnya. Waktu membuatnya lupa untuk terus bersyukur memiliki seseorang yang sabar menghadapinya, yang tulus menyayanginya, yang menerimanya, yang lebih dari sempurna. Aan merasa menjadi monster yang jahat. Sesekali ia melihat Rana menangis dipelukan teman-temannya dari jauh. Aan tak sanggup menahan air matanya. Ia tak peduli harga dirinya jatuh karena air matanya. Karena itu, disebrang sana, seseorang yang ia cintai, terluka karenanya. Lebih menyedihkan ketika Aan sadar ia tidak bisa berbuat apa-apa. Kenyataan yang terjadi sekarang benar benar menyiksa Aan. Tidak ada lagi menempel artikel-artikel mading, jalan bersama, berbincang tengah malam melalui telepon, menyemangatinya saat banyak masalah, mengelus kepalanya, menghiburnya. Aan rasanya tidak tahu lagi bagaimana melanjutkan hidup. Bahkan untuk meneruskan merokok ia tak mampu lagi. Aan makin membenci rokok. Batang bodoh itu merusak hidupnya, dan kini menghancurkan kisah bahagianya. Ia tahu Rana juga tersiksa.
Sekarang semuanya sudah terlambat. Masing-masing sekarang berusaha tegak. Rana juga sudah mulai didekati cowok-cowok lain. Yang lebih baik. Ya, yang lebih baik. Hanya Aan yang merasa dia tidak akan menemukan sosok yang lebih baik. Selamanya. Mungkin.
Aan menghentikan semua lamunannya. Sudah sekitar 15 menit sejak Rana pergi tadi. Pasti Rana sudah dijalan menuju rumah. Aan mengangkat tasnya, berjalan ke parkiran.
“ we could have had it all, Ran. “

 ----------------------------------------------------------------------------

Comments

Popular posts from this blog

music is in you, isn't it?

Interpretasi puisi : Aku Ingin, karya Sapardi Djoko Damono

Ibu yang Tidak Ideal